A.
HIV/AIDS
Definisi
HIV & AIDS
HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia
tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati adalah suatu retrovirus manusia
sitopatik dari family lentivirus.
AIDS (Acquired Imunnodeficiency
Syndrome) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil
akhir dari infeksi oleh HIV. AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan
imunologik dan klinis kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”
ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi. (Price
& Wilson,2003).
Epidemiologi
HIV & AIDS di Indonesia
Di
Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok
orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial
dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta,
Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong
sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang
dengan HIV positif.
Dari
Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan
September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843
dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1,
dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.
Patofisiologi HIV & AIDS
Retrovirus mengubah asam
ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke
dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1
menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Target utama virus HIV adalah
reseptor CD4+ yang terdapat di sel T penolong, serta pada makrofag dan sel
dendritic folikel yang terdapat di sistem saraf dan jaringan limfoid. Selama
infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi
lebih rentan terhadap infeksi. Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif
sel-sel CD4+, termasuk sel T penolong dan makrofag. (Price & Wilson, 2003).
Transmisi
virus
Infeksi HIV terjadi lewat 3 cara
utama: seksual, parenteral dan perinatal. Hubungan seks, baik anal maupun
vaginal adalah modus yang paling umum. Kemungkinan penularan hubungan seks
lewat anal 0.1-3 % per kontak dan 0.1-0.2 %
per kontak seks vaginal. Penggunaan jarum atau peralatan suntikan
lainnya yang terkontaminasi oleh pengguna obat terlarang adalah penyebab utama
transmisi parenteral. (ISO Farmakoterapi, 2011)
Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Empat fase klinis infeksi HIV adalah : (1) infeksi
akut primer (serokonversi), (2) fase asimtomatik, (3) fase simtomatik, dan (4)
fase simtomatik lanjut. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome). (Price & Wilson, 2003).
Sebagian besar orang yang terkena
HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu
yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang
paling terakhir (stadium IV) digunakan
sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi
oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut
dapat diobati. (WHO, 2007)
Stadium
Klinis HIV & AIDS
1.
Stadium
Klinis 1
Tanpa
gejala (asimtomatis)
Limfadenopati
generalisata persisten
2.
Stadium
Klinis 2
Kehilangan
berat badani yang sedang tanpa alasan (<10 atau="" badan="" berat="" diperkirakan="" diukur="" span="">10>
Infeksi
saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis, ototis media
dan faringitis)
Herpes
zoster
Kheilitis
angularis
Ulkus
di mulut yang berulang
Erupsi
papular pruritis
Dermatitis
seboroik
Infeksi
jamur di kuku
3.
Stadium
Klinis 3
Kehilangan
berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat badan diperkirakan atau
diukur)
Diare
kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan
Demam
berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus,
lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis
mulut berkepanjangan
Oral
hairy leukoplakia
Tuberkulosis
paru
Infeksi
bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau
sendi, meningitis atau bakteremia)
Stomatitis,
gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
Anemia
(<8g 10="" dl="" neutropenia="" sup="">98g>
/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50 10="" sup="">950>/l) tanpa alasan
4.
Stadium
Klinis 4
Sindrom
wasting HIV
Pneumonia
Pneumocystis
Pneumonia
bakteri parah yang berulang
Infeksi
herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus lebih dari 1 bulan
atau
viskeral
pada tempat apa pun)
Kandidiasis
esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis
di luar paru
Sarkoma
Kaposi (KS)
Infeksi
sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
Toksoplasmosis
sistem saraf pusat
Ensefalopati
HIV
Kriptokokosis
di luar paru termasuk meningitis
Infeksi
mikobakteri non-TB diseminata
Progressive
multifocal leukoencephalopathy (PML)
Kriptosporidiosis
kronis
Isosporiasis
kronis
Mikosis
diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
Septisemia
yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)
Limfoma
(serebral atau non-Hodgkin sel-B)
Karsinoma
leher rahim invasive
Leishmaniasis
diseminata atipikal
Nefropati
bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
B.
Antiretroviral
Antiretroviral
(ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
(DepKes, 2006). Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk
memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah
perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas
hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV
menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi
oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan
yang akhirnya mendorong ke arah kematian (McEvoy, 2004).
a. Inhibitor Reverse Transcriptase
Nukleosida dan Nukleotida (Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor
(NRTI))
NRTI dikenal juga sebagai analoga nukleosida, yang
termasuk golongan ini antara lain : Abacavir, Didanosin (DDI), Lamivudin (3TC),
Stavudin (D4T), Zalcitabine (DDC) dan Zidovudin (AZT). Analog nukleosida adalah
prodrugs yang di dalam sel diubah
menjadi trifosfat inaktif yang bekerja sebagai substrat saingan enzim reverse transcriptase virus. ( Tan Hoan
Tjay, 2013)
NRTI bekerja dengam menghambat secara kompetitif reverse transcriptase HIV-1; terserapnya
obat ke dalam rantai DNA virus yang sedang terbentuk menyebabkan penghentian
rantai premature karena inhibisi pengikatan dengan nukleotida
baru.Masing-mmasing obat memerlukan pengaktifan intrasitoplasma melaluli
fosforilasi oleh enzim-enzim sel menjadi bentuk trifosfat.
Semua NRTI dapat menyebabkan toksisitas mitokondria,
mungkin karena inhibisi gama DNA polymerase mitokondria. Meskipun jarang, dapat
terjadi asidosis laktat disertai steatosis hati, yang dapat mematikan. Terapi
NRTI seyogyanya dibekukan jika terjadi peningkatan cepat kadar
aminotransferase, hepatomegaly progresif, atau asidosis metabolic yang tidak
diketahui sebabnya.
Analog timidin, zidovudine dan stavudin mungkin lebih
sering menyebabkan dyslipidemia dan resistensi insulin.Beberapa bukti
menyarankan adanya pengingkatan risiko infark miokardium pada pasien yang
mendapat abakavir dan didanosin. (Katzung, Masters, & Trevor, 2013)
b.
Non-
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)
NNRTI dikenal juga sebagai analoga non nukleosida,
yang termasuk didalamnya antara lain : nevirapine, efirenz (Stocrin). Obat ini
memiliki struktur kimiawi berlainan, sehingga tidak termasuk analog nukelosida.
Khasiat NNRTI dan NRTI sama namun efek sampingnya relative sedikit, khususnya
rash. Nevirapine dapat mencapai otak dan dapat digunakan pada demensia akibat
AIDS (Tan Hoan Tjay, 2013)
NNRTI mengikat langsung reverse transcriptase HIV-1, menyebabkan inhibisi alosterik
aktivitas DNA Polimerase dependen-RNA dan –DNA.Tempat pengikatan NNRTI dekat, tetapi berbeda dari
tempat pengikatan NRTI. NNRTI tidak bersaing dengan nukleosida trifosfat dan
tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Obat NNRTI cenderung
menyebabkan intoleransi pencernaan dengan derajat bervariasi dan ruam kulit,
dengan yang terakhir kadang bersifat serius. Pembatasan lain obat NNRTI adalah metabolisme
mereka oleh sistem CYP 450, yang banyak menimbulkan interaksi antar obat. Semua
obat NNRTI adalah substrat CYP3A4 dan dapat berfungsi sebagai penginduksi
(nevirapin), inhibitor (delaviridin), dan campuran penginduksi dan penghambat
(efavirenz, etavirin).Karena banyaknya obat non HIV yang juga dimetabolisasi
oleh jalur ini, interaksi antar obat harus diharapkan dan dicari. (Katzung,
Masters, & Trevor, 2013)
c.
Protease
Inhibitor (PI)
Selama tahap tahap akhir daur hidup HIV, produk-produk
gen gag dan gag-pol ditranslasikan menjadi polyprotein dan menjadi partikel
tunas (budding) imatur. Protease HIV berperan memutuskan molekul prekusor ini
untuk menghasilkan protein structural akhir inti virion matang.Dengan mencegah
penguraian translasional polyprotein gag-pol, Inhibitor protease (PI) mencegah
pemrosesasn protein-protein virus menjadi konformasi fungsional, yang
menghasilkan partikel-partikel virus yang imatur dan non-infeksiosa.Tidak
seperti NRTI, PI tidak memerlukan pengaktifan intrasel.
Suatu sindrom redistribusi dan akumulasi lemak tubuh
yang menyebabkan obesitas sentral, pembesaran lemak dorsoservikal (punuk sapi, buffalo hump), mengurusnya wajah dan
tubuh perifer, pembesaran payudara dan penampakan cushingoid dapat diamati pada
pasiena yang mendapatt terapi antiretrovirus. Kelainan ini mungkin secara
khusus berkaitan dengan pemberian PI. Meningkatnya kadar trigliserida dan
lipoprotein berdensitas rendah, bersama dengan hiperglikemia dan resistensi
insulin.
Semua PI antiretrovirus dimetabolisasi secara
ekstensif oleh CYP3A4, dengan ritonavir memiliki efek yang paling menonjol dan
sakuinavir paling lemah. Akibatnya, terdapat banyak kemungkinan interaksi obat
dengan obat antiretrovirus dan obat lain. (Katzung, Masters, & Trevor,
2014)
d.
Fusion
dan attachment inhibitor / Entry inhibitor
Proses masuknya HIV-1 ke dalam sel pejamu bersifat
kompleks; masing-masing tahap dapat dijadikan sasaran untuk dihambat.
Perlekatan virus ke sel pejamu mensyaratkan pengikatan kompleks glikoprotein
selubung virus gp160 (terdiri dari gp120 dan gp41) ke reseptornya di sel
CD4.Pengikatan ini memicu perubahan konformasi pada gp 120 yang memungkinkan
akses ke reseptor kemokim CCR5 atau CXCR4.Pengikatan ke reseptor kemokin
semakin memicu perubaahn konformasi pada gp120, memungkinkan pajanan ke p41 dan
menyebabkan fusi selubung virus ke membrane sel pejamu yang dilanjutkan dengan
masuknya inti virus ke sitoplasma sel. Metabolisme umumnya terjadi oleh
hidrolisis proteolitik tanpa keterlibatan sistem CYP450. (Katzung, Masters, &
Trevor, 2013)
e.
Integrase
inhibitor
Setelah kode genetik diubah dari serat tunggal (RNA)
menjadi serat ganda (DNA) oleh enzim reverse transcriptase, DNA-nya dipadukan
pada kode genetik sel terinfeksi.Kemudian kode genetik HIV dibaca, dengan
hasilnya unsur virus baru dibuat oleh sel induk.Langkah ini menjadi titik lagi
dalam siklus hidup HIV yang dapat menjadi sasaran obat antiretroviral.
(Katzung, Masters, & Trevor, 2002)
C.
Terapi
Antiretroviral
Terapi
tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV yang resisten terhadap obat.
Kombinasi obat antiretroviral merupakan strategi yang menjanjikan secara
klinik, ditunjuk sebagai terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART).
Kombinasi ini mempunyai target multi langkah pada reflikasi virus sehingga
memperlambat seleksi mutan HIV. Tetapi HAART tidak dapat menyembuhkan infeksi
HIV, karena virus menetap pada reservoir yang berumur panjang pada sel-sel yang terinfeksi, termasuk sel T
CD4 memori, sehingga ketika HAART dihentikan atau terdapat kegagalan terapi ,
produksi virus kembali meningkat (Jawetz, 2005).
D.
Program
Penanggulangan AIDS di Indonesia
Program penanggulangan
AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya menuju pada paradigma Zero
new infection, Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination.
4 Pilar tersebut adalah
1. Pencegahan
(prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi
seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child
Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan
lain-lain.
2. Perawatan,
dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan pengembangan layanan
kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan
antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program
PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka
kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang
terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan
antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi
dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan
lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi
program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan dan
lain-lain.
E.
Tujuan
pengobatan Antiretroviral
Berdasarkan pedoman
nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan
Antiretroviral adalah :
1.
Mengurangi laju penularan HIV di
masyarakat
2. Menurunkan
angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
3. Memperbaiki
kualitas hidup ODHA
4. Memulihkan
dan / atau memelihara fungsi kekebalan tubuh
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
F.
Pertimbangan
dalam Penggunaan dan Pemilihan Paduan terapi ARV
1.
Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama
14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi
200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan
dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko
terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Bila
NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari,
maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Cara
menghentikan paduan yang mengandung NNRTI
-
Hentikan NVP atau EFV
-
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari
setelah penghentian Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari
setelah penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.
Penggunaan NVP dan EFV
-
NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang
setara
-
Ada perbedaan dalam profil toksisitas,
potensi interaksi dengan obat lain, dan harga
-
NVP berhubungan dengan insidensi ruam
kulit, sindrom Steven-Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding
EFV.
-
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang
berat maka NVP harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi
-
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil
trimester 1 atau triple NRTI jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI
hanya diberikan selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
-
Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada
perempuan dengan CD4 >250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya
dan pada laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui
jumlah CD4-nya.
-
Perlu dilakukan lead-in dosing pada
penggunaan NVP, yaitu diberikan satu kali sehari selama 14 hari pertama
kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari.
-
EFV dapat digunakan sekali sehari dan
biasanya ditoleransi dengan baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang
banyak tersedia dibandingkan NVP
-
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan
dengan sistem saraf pusat (SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat)
bersifat teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada
triemester dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun
biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan
beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien
-
EFV perlu dihindari pada pasien dengan
riwayat penyakit psikiatrik berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan
pada kehamilan trimester pertama.
-
EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan
ko-infeksi TB/HIV yang mendapat terapi berbasis Rifampisin.
-
Dalam keadaan penggantian sementara dari
NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP
setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing
2. Pilihan Pemberian Triple NRTI
Regimen
triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat ARV
berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
-
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan
interaksi terhadap Rifampisin
-
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan
ko-infeksi TB/HIV
-
Hepatitis, terkait dengan efek
hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Anjuran paduan
triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC +TDF. Penggunaan
Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu pasien perlu di
kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya kurang
kuat.
3. Penggunaan AZT dan TDF
-
AZT dapat menyebabkan anemi
dan intoleransi gastrointestinal
-
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI
= Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi
terjadinya anemi oleh penggunaan AZT
-
Perlu diketahui faktor lain
yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi
dan stadium HIV yang lanjut
-
TDF dapat menyebabkan
toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan antara 1% sampai 4% dan
angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%
-
TDF tidak boleh digunakan pada
anak dan dewasa muda dan sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan
-
TDF juga tersedia dalam
sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu kali sehari yang lebih mudah
diterima ODHA
4. Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data laboratorium
awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau dibandingkan
dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun
Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T,
mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan
neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan
kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan timbulnya
efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi
penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa
tahun 2010 merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T
dengan Tenofovir (TDF).
Berdasarkan
kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah memutuskan sebagai berikut:
-
Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang
baru memulai terapi dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
-
Pada pasien yang sejak awal menggunakan
d4T dan tidak dijumpai efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan
untuk diganti setelah 6 bulan
-
Jika terjadi efek samping akibat
penggunaan AZT (anemia), maka sebagai obat substitusi gunakan TDF.
-
Pada saat sekarang penggunaan Stavudin
(d4T) dianjurkan untuk dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional
dilakukan penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.
5.
Penggunaan Protease Inhibitor
(PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan
untuk terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan
NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang
masih terbatas
G.
Terapi
Antiretroviral pada populasi Khusus
1.
Terapi ARV untuk ibu hamil
Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral
Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission –
PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral
jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
2.
Terapi
ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV)
3.
Terapi
ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis
Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai
sebesar 90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi,
dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.
Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis
-
Mulai terapi ARV pada semua individu HIV
dengan TB aktif, berapapun jumlah CD4.
-
Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada
pasien yang memulai terapi ARV selama dalam terapi TB.
-
Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah
terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu
4.
Terapi
ARV pada Pengguna NAPZA suntik
Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi
ARV pada pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi
umum. Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi
ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi
tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang
hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu
diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat
yang mereka gunakan seperti misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu
program yang memadukan perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi
substitusi) dengan HIV sehingga pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan
paduan ARV dengan dosis sekali sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan
sehingga bisa untuk mempermudah terapi.
5.
Terapi
ARV untuk individu dengan penggunaan Metadon
Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV
untuk ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon dalam
darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus
dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi
gejala ketagihan tersebut.
-
Sangat direkomendasi untuk memulai terapi
ARV tanpa harus menghentikan metadon dan sebaliknya
-
Paduan yang direkomendasi adalah AZT
atau TDF + 3TC + EFV atau NVP
-
ARV bukan merupakan kontraindikasi pada
penasun (pengguna napza suntik) yang masih menggunakan NAPZA atau sedang dalam
terapi rumatan Metadon
-
Keputusan memberikan terapi ARV pada
penasun yang masih aktif menggunakan NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan
mempertimbangkan kepatuhan
-
Perlunya memperhatikan (kemungkinan)
interaksi obat antara ARV, Metadon dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis
metadon kadang perlu dinaikkan.
6.Terapi
ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan dengan HIV (HIV-associated
nephropathy = HIVAN)
-
HIVAN biasanya
ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa ditemukan pada berapapun
jumlah CD4.
-
Semua pasien HIV dengan
proteinuria perlu dicurigai sebagai HIVAN
-
HIVAN hanya dapat didiagnosis
berdasarkan biopsi ginjal
-
Paduan yang dianjurkan adalah AZT
+ 3TC + EFV atau NVP
-
Tenofovir (TDF) mempunyai efek
samping pada fungsi ginjal, maka tidak digunakan bila pasien dalam keadaan
gangguan fungsi ginjal
-
Sangat direkomendasi untuk
memulai terapi ARV pada kasus HIVAN tanpa memandang CD4.
7.
Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure
Prophylaxis = PEP)
Terapi antiretroviral (ARV)
dapat pula digunakan untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau PEP = post
exposure prophylaxis), terutama untuk kasus pajanan di tempat kerja (Occupational
exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan jarum suntik adalah kurang
dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa kasus seksual yang khusus
misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri.
H.
Pemantauan
Pasien dalam Terapi Antiretroviral
1. Pemantauan klinis
Frekuensi
Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal,
Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak
memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai
keadaan stabil.
Pada
setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala
efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial,
kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk
membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan.
2. Pemantauan laboratoris
a. Direkomendasikan
untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering
bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count)
tidak direkomendasikan untuk digunakan memantau terapi karena perubahan nilai
TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.
b. Untuk
pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran
kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12
sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
c. Pengukuran
ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala
dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan
Nevirapin(NVP) untuk perempuan dengan CD4 antara 250 – 350 sel/mm3 maka perlu
dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai
terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala
klinis
d. Evaluasi
fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF
e. Keadaan
hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang
mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan
kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan
gejala yang mengarah pada asidosis laktat
f. Penggunaan
Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid.
Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk
dilakukan atas dasar tanda dan gejala
g. Pengukuran
Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau pasien dalam
terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan
VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi
gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis
dan pemeriksaan jumlah CD4
h.
Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka
terapi ARV diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable)
setelah bulan ke 6.
3. Pemantauan pemulihan
jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan
meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi
yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien
dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian,
pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun
yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama. Pada pasien yang tidak
pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100 sel/mm3 dan atau pasien yang
pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif
tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan
gagal terapi secara imunologis.
Data jumlah CD4 saat
mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat
diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi secara imunologis. Pada
sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah CD4 yang rendah pada
saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4 tidak meningkat atau sedikit turun
meski terjadi perbaikan klinis.
4.
Kematian dalam Terapi Antriretroviral
Sejak
dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV semakin turun.
Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV disebabkan karena
penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek samping ARV berat
(Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD -
End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi HIV/HVB. Paradigma baru yang
menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero AIDS-related death. Hal ini dapat
tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan mendapat terapi ARV secepatnya
(Kemenkes,
2011)
I.
Evaluasi
Terapi Antiretroviral
Setelah pengobatan dengan
ARV dimulai, diperlukan pemantauan klinis dan laboratorium, meliputi :
1. Penilaian
tanda/gejala toksisitas obat yang potensial
2. Konseling
dan penilaian kepatuhan penilaian respon terapi dan tanda-tanda kegagalan
pengobatan
3. Pengukuran
berat badan
4. Pengujian
CD4 paling sedikit setiap 6 bulan
5. Pemantauan
Hb bagi pasien yang menggunakan AZT
Pemantauan
dilakukan 2,4,8,12 dan 24 minggu setelah pengobatan dimulai dan kemudian setiap
enam bulan sekali untuk pasien yang telah stabil pada terapi
(DepKes,
2007).
J.
Indikasi
kegagalan terapi Antiretroviral
Kriteria gagal terapi,
ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis maupun virologis. Pada
tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka
diagnosa kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat dilakukan. Sebaliknya
pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka
diagnosa kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan pemeriksaan CD4 dan atau
viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala klinis yang
mengarah pada kegagalan terapi. Di bawah kriteria kegagalan terapi, menggunakan
pemeriksaan CD4 dan VL sebagai dasar penentuan (kriteria WHO)
1. Kegagalan
klinis
Munculnya
Infeksi Oportunistik pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam terapi
ARV, kecuali TB, kandidosis esofageal, dan infeksi bakterial berat yang tidak
selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi.
2. Kegagalan
Virologis
Disebut
gagal virologis jika: viral load tetap
> 5.000 copies/ml atau viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya
tidak terdeteksi. Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan
pertama pengobatan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi.
Perlu dilihat kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut,
misal IRIS (Immune reconstitution
inflammatory syndrome).
3. Kegagalan Imunologis.
Definisi
dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan jumlah CD4
yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah virus. Jumlah
CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah terapi atau
tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam stadium 3,
dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka bila jumlah CD4 >200 /mm³
tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.
K.
Toksisitas
Obat ARV
Banyak faktor yang menyebabkan
timbulnya efek samping, antara lain:
a. Jenis
kelamin (contoh: NVP lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada
wanita dengan jumlah CD4 >250 sel/mm3.
b. Karakteristik
obat (contoh: efek samping NVP bersifat dose-related pada awal pengobatan
sehingga diberikan lead in-dose).
c. Digunakannya
dua atau lebih obat dengan toksisitas yang sama. Efek samping antara Rifampisin
dengan NVP yang keduanya bersifat hepatotoksik berpotensi menimbulkan
toksisitas ganda
d. Faktor
lain yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping adalah karena belum
ditemukan dan diobatinya penyakit yang mendasarinya (underlying disease),
misalnya koinfeksi hepatitis C.
e. Terdapat
beberapa keadaan yang mempunyai risiko yang lebih sering mengalami efek samping
obat sehingga perlu pemantauan terapi yang lebih ketat
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan RI.
2003. Pedoman Nasional Perawatan,
Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.
2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk
orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta.
Departemen Kesehatan RI.
2007. Pedoman nasional terapi
antiretroviral. Edisi kedua. Jakarta . harve
Katzung, Betram. G, 2002.
Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta
: Salemba Medika.
Katzung, B. G., Masters,
S. B., Trevor, A. J., 2013. Farmakologi
Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC
Katzung, B. G., Masters,
S. B., Trevor, A. J., 2013. Farmakologi
Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta : EGC
Kementrian Kesehatan RI.
2011. Pedoman nasional : Tatalaksana
klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa. Jakarta.
Wells, G. B., Dipiro, T. J., Scwhinghammer, T. L.,
Dipiro, C. V., 1976. Handbook of
Pharmacotherapy. Mc Graw Hill
WHO. 2005. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS and
HIV/AIDS Case Definitions for Surveillance . Geneva.