3 Desember 2016

HIV / AIDS


 

A.    HIV/AIDS

Definisi HIV & AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus.

AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV” ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi. (Price & Wilson,2003).

            Epidemiologi HIV & AIDS di Indonesia

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV positif.

Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.

Patofisiologi HIV & AIDS

Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Target utama virus HIV adalah reseptor CD4+ yang terdapat di sel T penolong, serta pada makrofag dan sel dendritic folikel yang terdapat di sistem saraf dan jaringan limfoid. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+, termasuk sel T penolong dan makrofag. (Price & Wilson, 2003).

            Transmisi virus

Infeksi HIV terjadi lewat 3 cara utama: seksual, parenteral dan perinatal. Hubungan seks, baik anal maupun vaginal adalah modus yang paling umum. Kemungkinan penularan hubungan seks lewat anal 0.1-3 % per kontak dan 0.1-0.2 %  per kontak seks vaginal. Penggunaan jarum atau peralatan suntikan lainnya yang terkontaminasi oleh pengguna obat terlarang adalah penyebab utama transmisi parenteral. (ISO Farmakoterapi, 2011)

Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Empat fase klinis infeksi HIV adalah : (1) infeksi akut primer (serokonversi), (2) fase asimtomatik, (3) fase simtomatik, dan (4) fase simtomatik lanjut. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome). (Price & Wilson, 2003).

Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling  terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati. (WHO, 2007)

            Stadium Klinis HIV & AIDS

1.      Stadium Klinis 1

Tanpa gejala (asimtomatis)

Limfadenopati generalisata persisten

2.      Stadium Klinis 2

Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasan (<10 atau="" badan="" berat="" diperkirakan="" diukur="" span="">

Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis, ototis media dan faringitis)

Herpes zoster

Kheilitis angularis

Ulkus di mulut yang berulang

Erupsi papular pruritis

Dermatitis seboroik

Infeksi jamur di kuku

3.      Stadium Klinis 3

Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat badan diperkirakan atau diukur)

Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan

Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih dari 1 bulan)

Kandidiasis mulut berkepanjangan

Oral hairy leukoplakia

Tuberkulosis paru

Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis atau bakteremia)

Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut

Anemia (<8g 10="" dl="" neutropenia="" sup="">9
/l) dan/atau trombositopenia kronis (<50 10="" sup="">9/l) tanpa alasan
4.      Stadium Klinis 4

Sindrom wasting HIV

Pneumonia Pneumocystis

Pneumonia bakteri parah yang berulang

Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus lebih dari 1 bulan atau

viskeral pada tempat apa pun)

Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)

Tuberkulosis di luar paru

Sarkoma Kaposi (KS)

Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)

Toksoplasmosis sistem saraf pusat

Ensefalopati HIV

Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis

Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)

Kriptosporidiosis kronis

Isosporiasis kronis

Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)

Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)

Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)

Karsinoma leher rahim invasive

Leishmaniasis diseminata atipikal

Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV 


B.     Antiretroviral

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (DepKes, 2006). Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah kematian (McEvoy, 2004).

a.      Inhibitor Reverse Transcriptase Nukleosida dan Nukleotida (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI))

NRTI dikenal juga sebagai analoga nukleosida, yang termasuk golongan ini antara lain : Abacavir, Didanosin (DDI), Lamivudin (3TC), Stavudin (D4T), Zalcitabine (DDC) dan Zidovudin (AZT). Analog nukleosida adalah prodrugs yang di dalam sel diubah menjadi trifosfat inaktif yang bekerja sebagai substrat saingan enzim reverse transcriptase virus. ( Tan Hoan Tjay, 2013)

NRTI bekerja dengam menghambat secara kompetitif reverse transcriptase HIV-1; terserapnya obat ke dalam rantai DNA virus yang sedang terbentuk menyebabkan penghentian rantai premature karena inhibisi pengikatan dengan nukleotida baru.Masing-mmasing obat memerlukan pengaktifan intrasitoplasma melaluli fosforilasi oleh enzim-enzim sel menjadi bentuk trifosfat.

Semua NRTI dapat menyebabkan toksisitas mitokondria, mungkin karena inhibisi gama DNA polymerase mitokondria. Meskipun jarang, dapat terjadi asidosis laktat disertai steatosis hati, yang dapat mematikan. Terapi NRTI seyogyanya dibekukan jika terjadi peningkatan cepat kadar aminotransferase, hepatomegaly progresif, atau asidosis metabolic yang tidak diketahui sebabnya.

Analog timidin, zidovudine dan stavudin mungkin lebih sering menyebabkan dyslipidemia dan resistensi insulin.Beberapa bukti menyarankan adanya pengingkatan risiko infark miokardium pada pasien yang mendapat abakavir dan didanosin. (Katzung, Masters, & Trevor, 2013)

b.      Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

NNRTI dikenal juga sebagai analoga non nukleosida, yang termasuk didalamnya antara lain : nevirapine, efirenz (Stocrin). Obat ini memiliki struktur kimiawi berlainan, sehingga tidak termasuk analog nukelosida. Khasiat NNRTI dan NRTI sama namun efek sampingnya relative sedikit, khususnya rash. Nevirapine dapat mencapai otak dan dapat digunakan pada demensia akibat AIDS (Tan Hoan Tjay, 2013)

NNRTI mengikat langsung reverse transcriptase HIV-1, menyebabkan inhibisi alosterik aktivitas DNA Polimerase dependen-RNA dan –DNA.Tempat  pengikatan NNRTI dekat, tetapi berbeda dari tempat pengikatan NRTI. NNRTI tidak bersaing dengan nukleosida trifosfat dan tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Obat NNRTI cenderung menyebabkan intoleransi pencernaan dengan derajat bervariasi dan ruam kulit, dengan yang terakhir kadang bersifat serius. Pembatasan lain obat NNRTI adalah metabolisme mereka oleh sistem CYP 450, yang banyak menimbulkan interaksi antar obat. Semua obat NNRTI adalah substrat CYP3A4 dan dapat berfungsi sebagai penginduksi (nevirapin), inhibitor (delaviridin), dan campuran penginduksi dan penghambat (efavirenz, etavirin).Karena banyaknya obat non HIV yang juga dimetabolisasi oleh jalur ini, interaksi antar obat harus diharapkan dan dicari. (Katzung, Masters, & Trevor, 2013)

c.       Protease Inhibitor (PI)

Selama tahap tahap akhir daur hidup HIV, produk-produk gen gag dan gag-pol ditranslasikan menjadi polyprotein dan menjadi partikel tunas (budding) imatur. Protease HIV berperan memutuskan molekul prekusor ini untuk menghasilkan protein structural akhir inti virion matang.Dengan mencegah penguraian translasional polyprotein gag-pol, Inhibitor protease (PI) mencegah pemrosesasn protein-protein virus menjadi konformasi fungsional, yang menghasilkan partikel-partikel virus yang imatur dan non-infeksiosa.Tidak seperti NRTI, PI tidak memerlukan pengaktifan intrasel.

Suatu sindrom redistribusi dan akumulasi lemak tubuh yang menyebabkan obesitas sentral, pembesaran lemak dorsoservikal (punuk sapi, buffalo hump), mengurusnya wajah dan tubuh perifer, pembesaran payudara dan penampakan cushingoid dapat diamati pada pasiena yang mendapatt terapi antiretrovirus. Kelainan ini mungkin secara khusus berkaitan dengan pemberian PI. Meningkatnya kadar trigliserida dan lipoprotein berdensitas rendah, bersama dengan hiperglikemia dan resistensi insulin.

Semua PI antiretrovirus dimetabolisasi secara ekstensif oleh CYP3A4, dengan ritonavir memiliki efek yang paling menonjol dan sakuinavir paling lemah. Akibatnya, terdapat banyak kemungkinan interaksi obat dengan obat antiretrovirus dan obat lain. (Katzung, Masters, & Trevor, 2014)

d.      Fusion dan attachment inhibitor / Entry inhibitor

Proses masuknya HIV-1 ke dalam sel pejamu bersifat kompleks; masing-masing tahap dapat dijadikan sasaran untuk dihambat. Perlekatan virus ke sel pejamu mensyaratkan pengikatan kompleks glikoprotein selubung virus gp160 (terdiri dari gp120 dan gp41) ke reseptornya di sel CD4.Pengikatan ini memicu perubahan konformasi pada gp 120 yang memungkinkan akses ke reseptor kemokim CCR5 atau CXCR4.Pengikatan ke reseptor kemokin semakin memicu perubaahn konformasi pada gp120, memungkinkan pajanan ke p41 dan menyebabkan fusi selubung virus ke membrane sel pejamu yang dilanjutkan dengan masuknya inti virus ke sitoplasma sel. Metabolisme umumnya terjadi oleh hidrolisis proteolitik tanpa keterlibatan sistem CYP450. (Katzung, Masters, & Trevor, 2013)

e.       Integrase inhibitor

Setelah kode genetik diubah dari serat tunggal (RNA) menjadi serat ganda (DNA) oleh enzim reverse transcriptase, DNA-nya dipadukan pada kode genetik sel terinfeksi.Kemudian kode genetik HIV dibaca, dengan hasilnya unsur virus baru dibuat oleh sel induk.Langkah ini menjadi titik lagi dalam siklus hidup HIV yang dapat menjadi sasaran obat antiretroviral. (Katzung, Masters, & Trevor, 2002)



C.    Terapi Antiretroviral

Terapi tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat antiretroviral merupakan strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk sebagai terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi ini mempunyai target multi langkah pada reflikasi virus sehingga memperlambat seleksi mutan HIV. Tetapi HAART tidak dapat menyembuhkan infeksi HIV, karena virus menetap pada reservoir yang berumur panjang  pada sel-sel yang terinfeksi, termasuk sel T CD4 memori, sehingga ketika HAART dihentikan atau terdapat kegagalan terapi , produksi virus kembali meningkat (Jawetz, 2005).

D.    Program Penanggulangan AIDS di Indonesia

Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination.

4 Pilar tersebut adalah

1.      Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.

2.      Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).

3.      Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.

4.      Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.



E.     Tujuan pengobatan Antiretroviral

Berdasarkan pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan  Antiretroviral adalah : 

1.      Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat

2.      Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

3.      Memperbaiki kualitas hidup ODHA

4.      Memulihkan dan / atau memelihara fungsi kekebalan tubuh  5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus 

F.     Pertimbangan dalam Penggunaan dan Pemilihan Paduan terapi ARV

1.      Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.

Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.

Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI

-          Hentikan NVP atau EFV

-          Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.

Penggunaan NVP dan EFV

-          NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

-          Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan harga

-          NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

-          Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi

-          Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama

-          Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya.

-          Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali sehari.

-          EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan NVP

-          Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien

-          EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester pertama.

-          EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang mendapat terapi berbasis Rifampisin.

-          Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing

2.      Pilihan Pemberian Triple NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

-          Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

-          Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

-          Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI



Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah AZT+3TC +TDF. Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya kurang kuat.

3.      Penggunaan AZT dan TDF

-          AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal

-          Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan AZT

-          Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut

-          TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%

-          TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan

-          TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA

4.      Perihal Penggunaan d4T

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.

Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).

Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah memutuskan sebagai berikut:

-          Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

-          Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6 bulan

-          Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai obat substitusi gunakan TDF.

-          Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.

5.      Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas








G.    Terapi Antiretroviral pada populasi Khusus

1.      Terapi ARV untuk ibu hamil


Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.



2.      Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV)

3.      Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis

Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.

Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis

-          Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah CD4.

-          Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam terapi TB.

-          Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu

4.      Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik

Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah terapi.

5.      Terapi ARV untuk individu dengan penggunaan Metadon

Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV untuk ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon dalam darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala ketagihan tersebut.

-          Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV tanpa harus menghentikan metadon dan sebaliknya

-          Paduan yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV atau NVP

-          ARV bukan merupakan kontraindikasi pada penasun (pengguna napza suntik) yang masih menggunakan NAPZA atau sedang dalam terapi rumatan Metadon

-          Keputusan memberikan terapi ARV pada penasun yang masih aktif menggunakan NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan mempertimbangkan kepatuhan

-          Perlunya memperhatikan (kemungkinan) interaksi obat antara ARV, Metadon dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis metadon kadang perlu dinaikkan.

6.Terapi ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan dengan HIV (HIV-associated nephropathy = HIVAN)

-          HIVAN biasanya ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa ditemukan pada berapapun jumlah CD4.

-          Semua pasien HIV dengan proteinuria perlu dicurigai sebagai HIVAN

-          HIVAN hanya dapat didiagnosis berdasarkan biopsi ginjal

-          Paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau NVP

-          Tenofovir (TDF) mempunyai efek samping pada fungsi ginjal, maka tidak digunakan bila pasien dalam keadaan gangguan fungsi ginjal

-          Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV pada kasus HIVAN tanpa memandang CD4.

7.      Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure Prophylaxis = PEP)

Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama untuk kasus pajanan di tempat kerja (Occupational exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa kasus seksual yang khusus misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri.



H.    Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral

1. Pemantauan klinis

Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.

Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan.

2. Pemantauan laboratoris

a.       Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.

b.      Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia

c.       Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan Nevirapin(NVP) untuk perempuan dengan CD4 antara 250 – 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala klinis

d.      Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF

e.       Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat

f.       Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid  secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan gejala

g.      Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD4

h.      Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6.

3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4 

Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama. Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.

Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4 tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.

4. Kematian dalam Terapi Antriretroviral 

Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi HIV/HVB. Paradigma baru yang menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero AIDS-related death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan mendapat terapi ARV secepatnya

(Kemenkes, 2011)

I.       Evaluasi Terapi Antiretroviral

Setelah pengobatan dengan ARV dimulai, diperlukan pemantauan klinis dan laboratorium, meliputi :

1.      Penilaian tanda/gejala toksisitas obat yang potensial

2.      Konseling dan penilaian kepatuhan penilaian respon terapi dan tanda-tanda kegagalan pengobatan

3.      Pengukuran berat badan

4.      Pengujian CD4 paling sedikit setiap 6 bulan

5.      Pemantauan Hb bagi pasien yang menggunakan AZT

Pemantauan dilakukan 2,4,8,12 dan 24 minggu setelah pengobatan dimulai dan kemudian setiap enam bulan sekali untuk pasien yang telah stabil pada terapi

(DepKes, 2007).

J.      Indikasi kegagalan terapi Antiretroviral

Kriteria gagal terapi, ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat dilakukan. Sebaliknya pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan pemeriksaan CD4 dan atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Di bawah kriteria kegagalan terapi, menggunakan pemeriksaan CD4 dan VL sebagai dasar penentuan (kriteria WHO)

1.      Kegagalan klinis

Munculnya Infeksi Oportunistik pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam terapi ARV, kecuali TB, kandidosis esofageal, dan infeksi bakterial berat yang tidak selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi.

2.      Kegagalan Virologis

Disebut gagal virologis jika: viral load  tetap > 5.000 copies/ml atau viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi. Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS (Immune reconstitution inflammatory syndrome).

3.      Kegagalan  Imunologis.

Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah virus. Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka bila jumlah CD4 >200 /mm³ tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.


K.    Toksisitas Obat ARV

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya efek samping, antara lain:

a.       Jenis kelamin (contoh: NVP lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas pada wanita dengan jumlah CD4 >250 sel/mm3.

b.      Karakteristik obat (contoh: efek samping NVP bersifat dose-related pada awal pengobatan sehingga diberikan lead in-dose).

c.       Digunakannya dua atau lebih obat dengan toksisitas yang sama. Efek samping antara Rifampisin dengan NVP yang keduanya bersifat hepatotoksik berpotensi menimbulkan toksisitas ganda

d.      Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping adalah karena belum ditemukan dan diobatinya penyakit yang mendasarinya (underlying disease), misalnya koinfeksi hepatitis C.

e.       Terdapat beberapa keadaan yang mempunyai risiko yang lebih sering mengalami efek samping obat sehingga perlu pemantauan terapi yang lebih ketat


              

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman nasional terapi antiretroviral. Edisi kedua. Jakarta . harve

Katzung, Betram. G, 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika.

Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J., 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC

Katzung, B. G., Masters, S. B., Trevor, A. J., 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta : EGC

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman nasional : Tatalaksana klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa. Jakarta.  

Wells, G. B., Dipiro, T. J., Scwhinghammer, T. L., Dipiro, C. V., 1976. Handbook of Pharmacotherapy. Mc Graw Hill

WHO. 2005. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS Case Definitions for Surveillance . Geneva.